BUDAYA POLITIK LOKAL DI ERA OTONOMI DAERAH
Oleh : Igusti Firmansyah, S.Sos
Keadaan geografis Indonesia yang berupa kepulauan berpengaruh terhadap mekanisme pemerintahan Negara Indonesia. Dengan keadaan geografis yang berupa kepulauan ini menyebabkan pemmerintah sulit mengkoordinasi pemerintahan yang ada di daerah. Untuk memudahkan pengaturan atau penataan pemerintahan maka diperlukan adanya suatu sistem pemerintahan yang dapat berjalan secara efisien dan mandiri tetapi tetap terawasi dari pusat.
Setelah
rezim orde baru tumbang akibat krisis ekonomi dan tekanan politik massa
yang bertubi-tubi (yang juga didukung sejumlah elite) mengakibatkan
pemerintahannya sulit dijalankan, terjadi pembalikan atau pembelokan
tajam arah kebijakan politik dan perundang-undangan. Sistem politik dan
ekonomi menjadi lebih bebas dan terbuka. Pada saat yang sama tekanan
internasional makin gencar dan pengaruhnya makin sulit dielakkan.
Barangkali Indonesia menjadi salah satu pilot project internasional
terpenting untuk program bimbingan penyesuaian (diri) terhadap tatanan
dan kecenderungan global di bidang ekonomi, politik, bahkan
sosial-budaya. Paket global itu, khususnya berupa kapitalisme global dan
demokrasi, serta tuntutan-tuntutan ikutannya atau kelengkapannya,
termasuk gaya hidup dan identitas global. Pemilu 1999 niscaya merupakan
momentum penting dalam proyek demokratisasi global.
Tahun
1999 itu pula diundangkan suatu kebijakan yang disebut-sebut sebagai
big bang di bidang otonomi daerah, yaitu UU No. 22/1999. Terbukti
perubahan yang drastis itu tidak mudah dilakukan. Kontroversi bahkan
sudah berlangsung sebelum undang-undang ini diberlakukan secara efektif
(tahun 2001), sehingga MPR (pada tahun 2000) mengeluarkan ketetapan yang
berisi rekomendasi untuk merevisi UU No. 22/1999 secara mendasar. Kini
undang-undang tersebut bahkan sudah diganti dengan UU No. 32/2004.
Melalui undang-undang baru ini untuk pertama kalinya di Indonesia
diperkenalkan pemilihan kepala daerah secara langsung. Dan, kita sudah
mempraktikkannya di beberapa daerah di Jawa Timur dengan hasil yang
belum sepenuhnya memuaskan atau masih mengandung sejumlah hal yang
mengecewakan.
Secara teoritis (Pratchett, 2004) otonomi daerah dapat diinterpretasi dalam tiga dimensi: freedom from, freedom to, dan pereflesian (kebangkitan) identitas lokal.
Interpretasi pertama
menekankan pentingnya dimensi kewenangan yang dimiliki daerah atau
diskresi, yang dimaknai bebas dari campur tangan pemerintah pusat.
Kewenangan ini harus dijamin melalui penetapan ketentuan formal. Semakin
besar kewenangan yang dimiliki daerah, berarti semakin besar pula
otonominya. Tentu interpretasi ini bisa menjadi sensitif, terutama bila
dikaitkan dengan konsep kedaulatan negara dan kebutuhan menjaga keutuhan
wilayah, karena dengan penekanan pada freedom from seakan-akan setiap
daerah ingin berdaulat sendiri-sendiri.
Kedaulatan
negara dan kebutuhan menjaga keutuhan wilayah negara tentu mengharuskan
campur tangan pemerintah pusat. Pemerintah pusat pasti tidak
menghendaki ada daerah yang bebas sama sekali dari campur tangannya.
Karena itu, dimensi ini tidak dipahami sebagai kewenangan penuh atas
suatu wilayah, melainkan kewenangan (penuh) dalam urusan-urusan tertentu
di wilayah yang bersangkutan. Ini pun masih memancing perdebatan.
Interpretasi kedua lebih menekankan pada dimensi fungsional atau pencapaian hasil (outcomes)
tertentu, yaitu kemampuan daerah untuk memajukan atau mengembangkan
daerah dengan mengidentifikasi permasalahan, menetapkan solusi, dan
menggalang dukungan serta sumber daya dari berbagai pihak, termasuk
pemerintah pusat. Dalam hal ini otonomi dimaknai bebas untuk memajukan
daerah, bebas untuk berkreasi, dan bebas menggalang dukungan, tidak
harus dengan memiliki kewenangan sendiri secara penuh, melainkan justru
dengan kerjasama-kerjasama.
Interpretasi ketiga
mengartikan otonomi daerah sebagai kesempatan untuk mengekspresikan
identitas politik dan budaya daerah. Otonomi daerah memberi kesempatan
dan peluang untuk partisipasi dalam pembuatan keputusan dan pengelolaan
sumber daya dengan sekaligus mengekspresikan cara-cara lokal, sehingga
proses-proses politik lokal makin mengekspresikan dan mengaktualkan
identitas politik lokal.
Praktik
otonomi daerah selama ini bila ditilik dari tiga dimensi tersebut telah
memperlihatkan perkembangan menarik. Dari segi kewenangan (formal)
praktis daerah telah menerima seluruh urusan pemerintahan, kecuali
beberapa urusan vital yang memang harus diselenggarakan secara terpusat.
Beberapa daerah bahkan telah menerima status sebagai daerah dengan
otonomi khusus, yang berarti kewenagannya lebih luas lagi. Dari segi
kemampuan untuk memajukan daerah, undang-undang (baik UU No. 22/1999
maupun UU No. 32/2004) sebenarnya telah sangat jelas mengamanatkan bahwa
otonomi dimaksudkan untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat,
mempercepat pembangunan, dan peningkatan kesejahteraan rakyat. Dengan
pengalaman yang bervariasi, dimensi ini rupanya belum menghasilkan
kemajuan yang memuaskan.
Ekspresi
budaya lokal, antara lain, tampak dari makin bervariasinya latar
belakang politik, sosial, maupun kultural para anggota DPRD. Demikian
pula latar belakang para kepala daerah. Artinya, telah terjadi
pluralisasi elite politik lokal. Lazimnya perubahan ini akan berakibat
langsung pada pembukaan akses dan pola-pola hubungan antara berbagai
kelompok sosial dalam masyarakat dan pejabat maupun institusi-institusi
resmi dalam pemerintahan. Dalam pandangan politik klasik, misalnya J.S.
Mill, perkembangan semacam ini diyakini akan membawa sejumlah
kecenderungan positif. Di antaranya akan menjadi instrumen untuk
memperkuat inklusi sosial, akan meningkatkan political skill tokoh-tokoh lokal, serta meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada institusi-institusi politik dan pemerintahan.
Yang
terjadi di beberapa daerah, pengekspresian identitas lokal seiring
otonomi daerah ini adalah semacam perumusan kembali dan penguatan
garis-garis eksklusivisme dan parokhialisme, seperti yang tampak pada
isu-isu putra daerah, politik kesukuan, politisasi agama, serta
kebangkitan adat. Secara demikian, seolah perkembangan masyarakat
Indonesia sedang ditarik kembali ke belakang, padahal tantangan nyata
ada di depan sebagai sesuatu yang abstrak. Tak jarang para penggiat HAM
dihadapkan pada persoalan dilematis, karena di satu sisi yang
lokal-lokal itu dapat menjadi mekanisme pertahanan terhadap gempuran
eksternal, tetapi pada sisi lain lokalitas itu rentan dieksploitasi dan
tak jarang menjadi sarana penindasan baru, antara lain terhadap
kebebasan individu, hak perempuan, dan sebagainya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar