Selasa, 02 April 2013

BUDAYA POLITIK LOKAL DI ERA OTONOMI DAERAH

BUDAYA POLITIK LOKAL DI ERA OTONOMI DAERAH

Oleh : Igusti Firmansyah, S.Sos

Keadaan geografis Indonesia yang berupa kepulauan berpengaruh terhadap mekanisme pemerintahan Negara Indonesia. Dengan keadaan geografis yang berupa kepulauan ini menyebabkan pemmerintah sulit mengkoordinasi pemerintahan yang ada di daerah. Untuk memudahkan pengaturan atau penataan pemerintahan maka diperlukan adanya suatu sistem pemerintahan yang dapat berjalan secara efisien dan mandiri tetapi tetap terawasi dari pusat.
 
Setelah rezim orde baru tumbang akibat krisis ekonomi dan tekanan politik massa yang bertubi-tubi (yang juga didukung sejumlah elite) mengakibatkan pemerintahannya sulit dijalankan, terjadi pembalikan atau pembelokan tajam arah kebijakan politik dan perundang-undangan. Sistem politik dan ekonomi menjadi lebih bebas dan terbuka. Pada saat yang sama tekanan internasional makin gencar dan pengaruhnya makin sulit dielakkan.

Barangkali Indonesia menjadi salah satu pilot project internasional terpenting untuk program bimbingan penyesuaian (diri) terhadap tatanan dan kecenderungan global di bidang ekonomi, politik, bahkan sosial-budaya. Paket global itu, khususnya berupa kapitalisme global dan demokrasi, serta tuntutan-tuntutan ikutannya atau kelengkapannya, termasuk gaya hidup dan identitas global. Pemilu 1999 niscaya merupakan momentum penting dalam proyek demokratisasi global.

Tahun 1999 itu pula diundangkan suatu kebijakan yang disebut-sebut sebagai big bang di bidang otonomi daerah, yaitu UU No. 22/1999. Terbukti perubahan yang drastis itu tidak mudah dilakukan. Kontroversi bahkan sudah berlangsung sebelum undang-undang ini diberlakukan secara efektif (tahun 2001), sehingga MPR (pada tahun 2000) mengeluarkan ketetapan yang berisi rekomendasi untuk merevisi UU No. 22/1999 secara mendasar. Kini undang-undang tersebut bahkan sudah diganti dengan UU No. 32/2004. Melalui undang-undang baru ini untuk pertama kalinya di Indonesia diperkenalkan pemilihan kepala daerah secara langsung. Dan, kita sudah mempraktikkannya di beberapa daerah di Jawa Timur dengan hasil yang belum sepenuhnya memuaskan atau masih mengandung sejumlah hal yang mengecewakan.

Secara teoritis (Pratchett, 2004) otonomi daerah dapat diinterpretasi dalam tiga dimensi: freedom from, freedom to, dan pereflesian (kebangkitan) identitas lokal

Interpretasi pertama menekankan pentingnya dimensi kewenangan yang dimiliki daerah atau diskresi, yang dimaknai bebas dari campur tangan pemerintah pusat. Kewenangan ini harus dijamin melalui penetapan ketentuan formal. Semakin besar kewenangan yang dimiliki daerah, berarti semakin besar pula otonominya. Tentu interpretasi ini bisa menjadi sensitif, terutama bila dikaitkan dengan konsep kedaulatan negara dan kebutuhan menjaga keutuhan wilayah, karena dengan penekanan pada freedom from seakan-akan setiap daerah ingin berdaulat sendiri-sendiri.
Kedaulatan negara dan kebutuhan menjaga keutuhan wilayah negara tentu mengharuskan campur tangan pemerintah pusat. Pemerintah pusat pasti tidak menghendaki ada daerah yang bebas sama sekali dari campur tangannya. Karena itu, dimensi ini tidak dipahami sebagai kewenangan penuh atas suatu wilayah, melainkan kewenangan (penuh) dalam urusan-urusan tertentu di wilayah yang bersangkutan. Ini pun masih memancing perdebatan.

Interpretasi kedua lebih menekankan pada dimensi fungsional atau pencapaian hasil (outcomes) tertentu, yaitu kemampuan daerah untuk memajukan atau mengembangkan daerah dengan mengidentifikasi permasalahan, menetapkan solusi, dan menggalang dukungan serta sumber daya dari berbagai pihak, termasuk pemerintah pusat. Dalam hal ini otonomi dimaknai bebas untuk memajukan daerah, bebas untuk berkreasi, dan bebas menggalang dukungan, tidak harus dengan memiliki kewenangan sendiri secara penuh, melainkan justru dengan kerjasama-kerjasama.

Interpretasi ketiga mengartikan otonomi daerah sebagai kesempatan untuk mengekspresikan identitas politik dan budaya daerah. Otonomi daerah memberi kesempatan dan peluang untuk partisipasi dalam pembuatan keputusan dan pengelolaan sumber daya dengan sekaligus mengekspresikan cara-cara lokal, sehingga proses-proses politik lokal makin mengekspresikan dan mengaktualkan identitas politik lokal.

Praktik otonomi daerah selama ini bila ditilik dari tiga dimensi tersebut telah memperlihatkan perkembangan menarik. Dari segi kewenangan (formal) praktis daerah telah menerima seluruh urusan pemerintahan, kecuali beberapa urusan vital yang memang harus diselenggarakan secara terpusat. Beberapa daerah bahkan telah menerima status sebagai daerah dengan otonomi khusus, yang berarti kewenagannya lebih luas lagi. Dari segi kemampuan untuk memajukan daerah, undang-undang (baik UU No. 22/1999 maupun UU No. 32/2004) sebenarnya telah sangat jelas mengamanatkan bahwa otonomi dimaksudkan untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, mempercepat pembangunan, dan peningkatan kesejahteraan rakyat. Dengan pengalaman yang bervariasi, dimensi ini rupanya belum menghasilkan kemajuan yang memuaskan.

Ekspresi budaya lokal, antara lain, tampak dari makin bervariasinya latar belakang politik, sosial, maupun kultural para anggota DPRD. Demikian pula latar belakang para kepala daerah. Artinya, telah terjadi pluralisasi elite politik lokal. Lazimnya perubahan ini akan berakibat langsung pada pembukaan akses dan pola-pola hubungan antara berbagai kelompok sosial dalam masyarakat dan pejabat maupun institusi-institusi resmi dalam pemerintahan. Dalam pandangan politik klasik, misalnya J.S. Mill, perkembangan semacam ini diyakini akan membawa sejumlah kecenderungan positif. Di antaranya akan menjadi instrumen untuk memperkuat inklusi sosial, akan meningkatkan political skill tokoh-tokoh lokal, serta meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada institusi-institusi politik dan pemerintahan.

Yang terjadi di beberapa daerah, pengekspresian identitas lokal seiring otonomi daerah ini adalah semacam perumusan kembali dan penguatan garis-garis eksklusivisme dan parokhialisme, seperti yang tampak pada isu-isu putra daerah, politik kesukuan, politisasi agama, serta kebangkitan adat. Secara demikian, seolah perkembangan masyarakat Indonesia sedang ditarik kembali ke belakang, padahal tantangan nyata ada di depan sebagai sesuatu yang abstrak. Tak jarang para penggiat HAM dihadapkan pada persoalan dilematis, karena di satu sisi yang lokal-lokal itu dapat menjadi mekanisme pertahanan terhadap gempuran eksternal, tetapi pada sisi lain lokalitas itu rentan dieksploitasi dan tak jarang menjadi sarana penindasan baru, antara lain terhadap kebebasan individu, hak perempuan, dan sebagainya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar